Selamat sore sobat pecinta Bahasa dan Sastra Indonesia...
Semoga dalam keadaan yang berbahagia...
Pada kesempatan ini saya akan menulis kembali sambungan bagian ke 3 dari pengkajian puisi dan pengertian puisi, Sebagaimana yang telah saya sampaikan dipostingan sebelumnya. Barangkali sobat sedang mencari tulisan ini, saya akan tuliskan bagian terakhirnya.
Langsung saja...
Baca juga :
Pengkajian Puisi dan Pengertian Puisi
Pengkajian Puisi dan Pengertian Puisi - Bagian 2
Contoh yang berikut ini sudah lain sama sekali dengan korespondensi dan periodisitas sajak-sajak Pujangga Baru.
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam arah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu,
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
Korespondensi dalam sajak Chairil Anwar tersebut tidak begitu jelas, begitu juga periodisitasnya, ataupun kalau ada korespondensi dan periodisitasnya tidak dari awal ke akhir.
Dalam sajak Sapardi yang telah dikutip di muka kelihatan tak ada korespondensi dan periodisitas (yang jelas), begitu juga yang berikut ini.
DI KEBON BINATANG
Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan Iidahnya, katanya kepada suaminya, "Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!".
Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan isterinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
(Akuarium, hlm. 17)
Dengan contoh-contoh tersebut di atas, perbedaan prosa dan puisi dengan sistem korespondensi dan periodisitas itu juga belum dapat tepat sama sekali.
Dalam poetika (ilmu sastra), sesungguhnya hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah itu mencakup semua karya sastra, baik prosa maupun puisi. Jadi, puisi itu sama dengan karya sastra, khususnya prosa dan puisi (cf. Wellek, 1968: 142 - 150). Hal ini disebabkan bahwa perbedaan prosa dan puisi itu sifatnya hanya berderajat (gradual) saja kadar kepadatannya. Prosa dan puisi itu hanya dapat dibedakan berdasar kadar kepadatannya. Berdasarkan hal itu, bila padat karya itu disebut puisi, bila tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepada kepadatannya itu, sering kali ada prosa yang dikatakan puitis, yaitu mempunyai sifat puisi: padat. Sebaliknya puisi yang tidak padat disebut prosais (mempunyai sifat prosa).
Penanaman puisi itu sesuai dengan kepadatannya atau konsentrasinya, dalam bahasa Belanda puisi disebut gedicht dan bahasa Jennan Dichtung. Dalam istilah itu terkandung arti pemadatan atau konsentrasi, dichten berarti membuat sajak dan juga berarti pemadatan.
Sebaliknya prosa itu bersifat menguraikan. Jadi, sesungguhnya perbedaan prosa dan puisi itu bukan perbedaan bahannya, melainkan perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi itu hasil aktivitas memadatkan.
Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), sedangkan prosa itu ekspresi konstruktif. Kata kreatif itu bukan lawan kata konstruktif, tetapi ada perbedaan nyata antara aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan lalu dipadatkan dan dipusatkan dan aktivitas jiwa yang hanya menyebarkan kesan-kesan dari ingatan. Jadi, ada aktivitas jiwa yang memadatkan (kondensasi) dan aktivitas yang menyebarkan (dispersi).
Dalam puisi, kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri. Dalam puisi tak ada perbedaan kata dengan pikiran. Pikiran itu kata sendiri dan kata itu pikiran sendiri (kata dan pikiran itu puisi). Kata "konstruktif' dalam prosa itu berarti telah tersedia bahan-bahannya, telah tersedia bagi si pemakai, yang tinggal disusun saja. Kata-kata sudah selesai dibentuk. Sifat kreatif prosa itu hanya terlihat pada rencana dan pelaksanaannya, bahan-bahannya telah tersedia dan selesai dibentuk.
Prosa pada umumnya bersifat bercerita (epis atau naratif). Dalam bercerita, orang menguraikan sesuatu dengan kata-kata yang telah tersedia; sedangkan dalam membuat puisi aktivitas bersifat pencurahan jiwa yang padat (liris dan ekspresif). Karena kepadatannya ini, puisi bersifat sugestif dan asosiatif, sedangkan prosa bersifat menguraikan (menjelaskan) kadang sampai merenik. Hal ini sesuai dengan sifatnya yang bercerita, yang memberi "informasi".
Seperti di muka telah dikemukakan bahwa sepanjang sejarahnya puisi itu selalu berubah disebabkan evolusi selera dan konsep estetik yang berubah-ubah. Meskipun demikian, dikemukakan Riffaterre (1978: 1) bahwa ada satu hal yang tinggal tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung, yaitu mengatakan suatu hal dan berarti yang lain. Ketaklangsungan ucapan ini (Riffaterre, 1978: 2) disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorting (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Penggantian arti terjadi pada metafora dan metoniml; penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan penciptaan terjadi pada pengorganisasian ruang teks, persejajaran tempat (homologues), enjambement, dan tipografi.
Demikian Pengkajian puisi dan pengertian puisi - Bagian 3 yang bisa terpaparkan. Semoga dapat membantu dan bermanfaat.